MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN, PEDAGOGIK DAN POSTMODERNISME
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan sesuatu yang
erat kaitanya dengan manusia. Pendidikan dapat membantu sesorang untuk
berpikiran luas dan terbuka sehingga menjadi dasar arah berkembanganya
kehidupan selanjutnya. Pendidikan tidak dapat begitu saja dilepaskan dari
filsafat pendidikan yang selama ini telah disebutkan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan pendidikan di berbagai belahan dunia.
Dalam beberapa
tahun terakhir, filsuf telah menaruh perhatian pada aliran postmodernisme.
Pembahasan mengenai postmodernisme ini ditinjau berdasarkan kaitanya dengan
filsafat pendidikan serta pembelajaran yang dilakukan. Kebebasan dalam bidang
pendidikan semakin besar seperti hanya pengaruh aliran postmodernisme terhadap
pendidikan sekarang ini yang menurut saya tidak dapat diacuhkan begitu saja.
Postmodernisme
telah memberikan pengaruh yang beragam terhadap pendidikan. Aliran tersebut
menghasilkan kritik yang cukup menjadi pembahasan pada karya tulis ini.
Sehingga saya tidak dapat mengabaikan dan mencari pandangan-pandangan ke depan
mengenai postmodernisme. Dalam karya tulis ini saya akan melihat bagian positif
dari postmodernisme tetapi saya tidak ingin dikatakan sebagai seseorang yang
setuju dengan aliran postmodernisme ataupun modernisme.
Terlepas dari
suka atau tidak, sadar atau tidak, kita semua akan memasuki era pemikiran
spektakuler yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia di bidang
sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain, sebagai dampak dan pengaruh
globalisasi. Sebagaimana halnya dengan globalisasi tersebut, arus pemikiran postmodernisme
juga sekaligus membawa sisi-sisi positif dan negatifnya. Masalahnya
sekarang adalah apakah umat beragama akan tenggelam dalam arus negatifnya,
menjadi korban, ataukah sebaliknya akan menjadi pengendali dan pengambil manfaat yang
sebesar-besarnya. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa pendidikan
merupakan salah satu faktor yang dominan dan bahkan yang terdepan dalam rangka
proses pembangunan suatu bangsa. Menjadi kunci utama atau titik perhatian utama
bagi setiap komponen masyarakat yang berkompoten terhadap pendidikan tersebut.
Untuk lebih proaktif melakukan langkah-langkah dan upaya strategis pendidikan
di masa depan, baik melalui jalan formal, non formal maupun informal.
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan
yang dirumuskan pada makalah ini adalah bagaimakah kedudukan aliran
postmodernisme berperan terhadap pedagogi dan filsafat pendidikan tersebut?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami
kedudukan
postmodernisme terhadap pedagogi dan filsafat pendidikan tersebut?
PEMBAHASAN
A.
Postmodernisme
Postmodernisme dapat dikatakan sebagai fenomena budaya secara umum
seperti percampuran gaya, toleransi, keragaman, penerimaan inovasi dan
perubahan, dan akibat dari hal nyata. Postmodernisme pada dasarnya dapat
digolongkan menjadi postmodernisme masa depan dan masa lalu. Terjadi perdebatan
yang konstan dalam menetukan manakah postmodernisme yang paling mendekati
kehidupan berdasarkan batas-batas tertentu sehingga dapat dikatakan
posmodernisme .
Nama yang sering berhubungan dengan postmodernisme adalah Jean Francois
Lyotard, Jacques Derrida, Michael Foucault dan Richard Rorty. Teori yang paling
mendekati mengenai postmodernisme adalah aliran deconstruction, postructuralism dan neopragmatism. Disamping itu
muncul beberapa nama seperti Nietzsche dilanjutkan oleh Wittgenstein, Winch,
Hidegger, Gademer dan Kuhn dan beberapa teori lain seperti perspectivalism, postanalytic philosopy dan hemeneutics.
Kelebihan atau penejelasanya tidak hanya pada teori tetapi diantara itu
dan periode sejarah, hal tersebut menurut pandangan Lyotard dimana setuju
dengan McGowan bahwa postmodernisme dan modern tidak dapat didibedakan atau
dipisahkan dari lainya, meraka ada saling mempengaruhi yang mengacu pada dua
respon berbeda megenai kemajuan. Rorty setuju terhadap hal tersebut, perdebatan
mengenai postmodernisme telah berlangsung sejak Hegel. Kedepanya, Rorty
berpikir bahwa perubahan ini akan benar-benar berakhir saat Dewey. Rorty tidak
membandingkanya dengan pendapat Foucault, dia tidak melihat ada perbedaan
antara pendapat Dewey dan Foucault pada dasarnya mengenai postmodernisme,
perbedaanya hanya pada kehadiranya atau kekuranganya pada lingkup sosial yang
dapat mereka tunjukkan.
Terdapat hal yang kurang tepat mengenai pandangan Hegel, Nietzsche
bahkan Dewey mengenai Postmodernisme, mereka menulis pandanganya pada era
modern dan banyak cara menunjukkanya merupakan suatu kemauan. Beberapa penulis
lebih menyukai pengertian Postmodernisme secara krinologis. Sebagai contoh adalah
John McGowan dan Frederic Jameson menganggap Postmodernisme sebagai sesuatu
yang sementara berdasarkan periode sejarah yang diidentifikasi sebagai bagian
karakteristik yang melalui semua kronologi sejarah.
Postmodernisme juga dapat diartikan berdasarkan pemikiran manusia dan
perubahan kebiasaannya dan melupakan bagaimana orang-orang zaman dahulu telah
berpikir demikian seperti Plato, Descrates dan Kant. Berdasarkan beragam
penyebab itu, Postmodernisme diartikan oleh beberapa filosofis sebagai teori pendidikan.
B.
Pandangan Pokok Postmodernisme
Pandangan mengenai Postmodernisme pada
karya tulis ini mengacu pada pandangan Rorty dan Lyotar, Derrida dan Foucault
dikarenakan mengarahkan pada kebiasan filosofis dimana terdapat tanggung jawab
untuk mencoba terlibat. Pandangan yang dimaksudkan adalah sikap yang terkadang
terlihat pada paliran Postmodernisme. Pertanyaan ini memiliki metodologi yang
kuat karena mereka harus mencari untuk digunakannya dalam kehidupan. Pada
dasarnya dapat dikatakan meliputi komponen kognitif, afektif dan keterampilan.
Pandangan Postmodernisme dapat dijelaskan pada:
1.
Kenyataan ( Realitas )
Postmodernisme
membantu melihat bahwa kenyataan lebih rumit dari pada yang kita bayangkan. Itu
tidak dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang ada di luar sana dengan mudahnya
seperti yang kita pikirkan, ini merupakan bagaian dari kreasi manusia. Kita
membentuk kenyataan berdasarkan kebutuhan, kepentingan, prasangka dan tradisi
kebudayaan. Meskipun demikian, realitas bukan sama sekali hanya hasil dari konstruksi
manusia. Sebagai contoh, pengetahuan adalah hasil interaksi antara ide manusia
tentang dunia dan pengalamannya mengenai dunia. Tentu saja, semua pengalaman
dipengarui oleh berbagai konsep yang dimiliki manusia. Manusia melihat segala
sesuatu melalui lensa budaya. Namun pengaruh ini tidak dapat terlalu dikontrol
karena realitas memaksa manusia untuk memodifikasi idenya. Manusia berpikir
dunia adalah datar, misalnya, namun manusia pada akhirnya diharusnya untuk
mengubah pikirannya tersebut.
Tetapi kenyataan yang sebenarnya
bukan merupakan buatan manusia “dibuat oleh kita dan tidak diberikan ke kita”
seperti yang diakui Postmodernisme. Pengetahuan merupakan hasil dari interaksi
pemikiran dan pengalaman kita mengenai dunia. Seperti yang dikatakan Gendiin, “
asumsi yang dilebih-lebihkan bahwa konsep sosial sepenuhnya
menentukan....pengalaman....Bentuk apa awalnya dan sebelumnya” Tentu saja,
semua pengetahuan dipengaruhi oleh konsep kita mengenai “lihat” benda bahkan
benda fisik melalui lensa kebudayaan. Tetapi tidak semuanya diatur oleh
pengaruh ini, lagi dan lagi kenyataan mengejutkan kita (seperti yang
ditunjukkan pengetahuan modern) sehingga memaksa kita untuk memodifikasi ide
yang sudah ada. Sebagai contohnya, kita berpikir bahwa dunia itu datar, tetapi
akhirnya memaksa kita untuk mengubah pikiran kita.
Pandangan ini hampir mirip dengan Kant
bahwa pengetahuan merupakan hasil dari interaksi bagian-bagian mental dan
keyakinan data. Bagaimanapun, secara umum struktur mental yang dikemukakan oleh
Kant merupakan bawaan yang asli dan alami, saya melihat pengalaman dan
kebudayaan telah terpengaruh satu sama lain. Kedua hal tersebut saling
tergantung dan perbedaan hanya pada tingkat ketetapan manusia. Interaksi wajar
dari pandangan kenyataan tidak terdapat perbedaan nilai yang tajam. Semua
pernyataan nyata mencerminkan nilai-nilai yang ditunjukkan dan semua tingkah
laku telah terkondisi oleh amumsi kenyataan. Terdapat perbedaan tingkatan yang
memungkinkan kita untuk berbicara mengenai “fakta” dan “nilai”. Tetapi apa yang
kita sebut fakta merupakan nilai yang kurang menentukan: nilai yang tidak
terlepas dari nilai-nilai yang lain. Sesuai dengan pandangan Postmodernisme
Foucault bahwa pengetahuan dan kekuatan cukup kuat untuk menciptakan serta
melenyapkannya. Foucault memiliki pandangan mengenai konspirasi pengetahuan,
tetapi ketertarikan terhadap identifikasinya tidak dapat dipungkiri.
2.
Perubahan dan Perbedaan
Kenyataan merupakan
bagian kebudayaan, menyebabkan setiap saat terjadi perbuahan seperti kebudayaan
yang berubah dan bermacam komunitas. Pengetahuan tidak abadi maupun universal.
Sekali lagi, kita tidak seharusnya membesar-besarkan hal ini seperti yang
dilakukan Postmodernisme. Itu merupakan “kepentingan abadi” (Dewey) dan
“kerangka tentatif” (Charles taylor) dimana intinya perubahan tingkat yang
terus berlanjut dan terdapat suatu kesamaan dari kebudayaan ke kebudayaan dan
mungkin melalui semua lingkkup kehidupan manusia.
Melanjutkan penolakan dan keumuman dimana
fakta itu berada seperti yang dilakukan Postmodernisme, itu merupakan irasional
(tidak logis) dan tidak sesuai untuk melihat bahwa pengetahuan itu abadi dan
selalu umum. Hal tersebut mengingkari penambahan nilai dalan inovasi, keaslian
dan perbedaan. Lebih lanjut dapat dikatakan tidak memiliki konsekuensi praktis,
semenjak meninggalkan orang-orang dengan dasar yang cukup untuk kehidupasn
sehari-hari. Satu hal yang dapat menolak gagasan yang sudah jadi, dasar
keumuman untuk kenyataan, cukup dipercayai tidak terdapat petunjuk yang berguna
yang dapat diidentifikasi.
Memahami Postmodernisme, kita seharusnya
selalu berhati-hati dengan keumuman, karena dapat menipu. Dibalik formula umum
seperti semua manusia merupakan mahluk rasional atau orang-orang merupakan
pemaaf, biasanya memiliki perbedaan yang besar antara pandangan dan kenyataan.
Kita sebaiknya lebih berhati-hati dan juga lebih menganalisa kata-kata seperti
“bebrapa”, “banyak”, “kadang-kadang”, “sering.” Tetapi walaupun sesuatu yang
umum sudah dikualifikasikan di kehidupan sehari-hari.
3.
Metafisika
Postmodernisme sering
dipandang memberikan akhir bagi metafisika, epistemologi dan begitu pula asumsi
yang telah jadi, kenyataan yang umum dan metode inkuiri. Bagaimanapun, dalam
pandangan saya lebih baik untuk memodifikasi konsep ini dari pada menyerahkan semuanya.
Karena kita hidup di perubahan, pembentukan dunia Postmodernisme, kita
memerlukan pegangan yang dapat ditemukan. Inkuiri diarahkan kekecerdasan umum,
moral dan pola lain, terbatas dan melalui hal tentatif yang mungkin itu berasal
dari bentuk metafisika.
Ironi dari pergerakan Postmodernisme,
disamping itu sendiri, diyakini terpusat pada apa yang dapat kita katakan
mengenai alam secara umum tentang kenyataan. Saya bahkan akan mengatakan itu
mengantarkan pada kebangkitan yang kuat mengenai metafisika. Postmodernisme
mempercayai akan mengakhiri metafisika dan membuangnya sebagai dasar. Tetapi
fakta dari tulisan mereka penuh dengan asumsi umum mengenai kebudayaan,
kebiasaan alami manusia, nilai, dan menemukan. Landon Beyer dan Daniel Liston
mengamati Postmodernisme sebagai sesuatu yang paradok mengandung sudut pandang
tanpa dasar dan berbicara mengenai ketidakadaan. Tidak selalu Postmodernisme
selalu menolak apa yang mereka lakukan, Derrida dengan senang menyetujui bahwa
dia melewati apa yang dia percayai tetapi menyetujui kesalahan berbeda dari hal
tersebut.
4.
Diri Sendiri
Postmodernisme dengan
benar telah bertanya gagasan mengenai keumuman, ketidak berubahan, kesatuan
diri, atau subjek yang mana penuh dengan pengetahuan dan mengatur semua
pemikiranya, perkataanya dan apa yang dia lakukan. Itu menunjukkan bahwa diri
sendiri dengan kuatnya terpengaruh oleh pembentukkan kebudayaannya, perubahan
dengan kebudayaan dan pembentukan kebudayaan. Sebagai tingkatan, ini tidak
seperti yang kita pikir, ucapkan dan lakukan tetapi kebudayaan itu yang
berpikir, berbicara dan melakukan melalui kita. Rorty dibenarkan ketika ia
mendeskripsikan “moral diri” sebagai penghubung kelakukan, keinginan dan emosi tanpa ada yang
mempengaruhi, dengan tetap memperbarui sendiri, tidak mengacu pada kriteria
umum tetapi mengenai atau tidak mengenai dimana sel tersebut mengatur dirinya
sendiri untuk menemukan kebahagiannya.
Itu cukup berlebihan, bagaimanapun
kemampuan menyesuaikan diri terbatas, sesuai kondisi dan berdasarkan hal
tersebut tidak signifikan, identitas atau kapasitasnya. Individu mungkin tidak
menjadi lebih penting dari kebudayaan, begitu pula dengan kebudayaan. Individu
merupakan sesuatu yang menyatu dan dikategorikan sebagai masyarakat dan mereka
memiliki pemikiran yang terbatass mengenai pengetahuanya sendiri, ekspresinya
sendiri serta peraturanya sendiri. Tidak terdapat dasar masyarakat atau
kebudayaan mengabaikan individu.
Disaat yang sama pada kelompok tertentu
dengan kebudayaan yang beragam, etnik, kelompok, jenis kelamin, kelompok
ekonomi dan lainnya. Terdapat kecenderungan Postmodernisme untuk mengabaikan
individu. Tetapi pada faktanya dua individu dengan kebangsaan yang sama, etnis,
jenis kelamin, agama atau yang lain. Dan dua individu dimana berbeda pada semua
hal tersebut dimana dapat memiliki pertemanan dekat, bahkan pernikahan yang
baik dan hal lainya. Individual hanya sebagai bagian bermacam-macam kategori
yang dimiliki.
5.
Penemuan
Postmodernisme
dipandang sebagai bagian besar daari konsep inkuiri kita. Tidak lama lagi, kita
seharusnya melihat diri kita sendiri mencari kenyataan yang ada untuk
ditemukan, kita terlibat proses interaktif dari kreasi pengetahuan. Kita
menciptakan pemahaman bekerja pada kehidupan dan kenyataan yang sesuai tujuan
kita. Tujuan dan bahan dari individu untuk individu dari kelompok ke kelompok,
yang mana kita merupakan bagian autobiografi dan mencerminkan pandangan pribadi
kita mengenai bagian dari dunia
Beberapa
orang tidak mengetahui orang yang lainya tetapi perbedaanya, itu adalah kenyataan
biasanya berupa satu tingkatan. Sehingga tingkat sulit lebih sering mandiri
pada tingkat mudah untuk masukkan pandangan mereka dan sejak setiap individu
atau kelompok membutuhkan keadaan yang berbeda, tingkat pengetahuan yang sulit
tidak dapat dengan mudah diterapkan itu merupakan perubahan besar mengenai hal
tersebut. Interaksi antara tingkatan sulit dan mudah, guru dan pemikiran sering
disebut pandangan percakapan (Rorty), dimana saling berpengaruh dari pada
hubungan sederhana dari satu ke yang lain.
Kemunculan
pengetahuan lebih membingungkan dari pada yang kita perkirakan. Itu mengacu
pada kemungkinan dari pada kepercayaan, efek rata-rata, lebih baik dari pada
yang terbaik dan mengalami perubahan secara konstan sebagai seorang individu
atau masyarakat memberikan intepretasi
serta mencerminkan kebutuhan serta pengalaman. Melalui Postmodernisme,
bahasa diadopsi menjadi perubahan yang dintrepretasikan konstan. Kata tidak
terikat konsep asli, kata menunjukkan artinya sesuai keseluruhan sistem yang disematkan,
sistem yang berubah dari waktu ke waktu dan berbagai macam pengucapan di
masyarakat atau pengguna bahasa ke yang lainya.
Penemuan
harus didekatkan pada kegiatan praktis. Kita seharusnya tidak bersikeras pada
kenyataan, meliputi kebiasaan alami manusia memiliki bentuk yang dipercaya
tetapi lebih diterima apa yang muncul. Sebagai contohnya sebagai dasar bagian
dari perasaan solidaritas kelompok kemudian kita harus mengetahuainya, tidak
ada tujuan mengikuti pandangan rasional dari motivasi moral yang tidak dapat
dikerjakan.
Sekali
lagi, kita seharusnya berhati-hati dalam poin ini. Postmodernisme pernah
menyerah alasan nasional yang berarti akhir pemikiran, teori, dan pengajaran.
Tetapi faktanya terdapat tempat untuk memodifikasinya. Kita harus memahami
perasaan, intutisi, pengaruh langsung sosial dan yang lainya. Kita berpikir
bahwa kita mengatahui apa yang diingingkan dan bagaimana cara mendapatkanya
dalam hidup. Teori dimengerti sebagai penghubung dari kualifikasi hal yang
umum, itu hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran
merupakan percakapan yang luas sehingga perlu dan memungkinkan. Semua dari hal
tersebut dapat menyebabkan masalah serius, tapi tampa teori kita akan
benar-benar kehilangan secara harfiah.
Kita juga harus
memenuhi syarat gagasan pendekatan "pragmatis" untuk penyelidikan.
Meskipun tidak ada landasan eksternal dengan realitas, ,seperti yang dikatakan
Rorty, ada kontinuitas dalam yang berfungsi sebagai titik referensi penting.
Hal ini dimungkinkan dan diperlukan, kemudian, untuk mengembangkan
"teori" yang menjelaskan fenomena tertentu dalam hal kontinuitas ini.
Postmodernis sering menampilkan "pragmatisme mudah" yang, sementara
mengklaim untuk terbuka dan toleran, hanyalah dangkal, karena gagal untuk
mengembangkan dan menggunakan teori semacam ini; doktrin-doktrin demikian
menjadi pernyataan dogmatis, tanpa penjelasan atau pembenaran.
6.
Bentuk – Bentuk Ilmu Pengetahuan
Ciri
khas postmodernisme adalah tidak adanya titik pusat yang mengontrol segala
sesuatu. Meskipun posmodernisme bentuknya bermacam-macam, mereka sepakat bahwa
tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum yang dapat
dipergunakan untuk mengukur, menilai, atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya
hidup tertentu (Silverman, 1996).
7.
Ciri khas ini juga berlaku bagi ilmu pengetahuan.
Tidak ada hegemoni satu tradisi ilmu pengetahuan yang lainnya.
Pencarian
personal dari individu-individu seringkali tidak dicermati dengan cukup serius.
Padahal setiap manusia secara konstan sedang mempertanyakan, mengamati,
berteori dan mencoba untuk memahami kehidupan. Demokrasi yang radikal dari
postmodernisme mengarahkan pada hal ini. Setiap individu harus dilihat sebagai
pusat dari suatu ilmu pengetahuan.
C.
Beberapa Implikasi Bagi Pedagogi
Pedagogi agar dapat memenuhi persyaratan landasan konsep dan fungsinya sudah barang
tentu membutuhkan landasan yang berasal dari filsafat atau setidaknya mempunyai
hubungan dengan filsafat. Dalam hal ini landasan filosofis dimaksud adalah
pandangan dari kaum postmodernis seperti telah diuraikan sebelumnya. Pedagogi
atau juga sering disebut dengan ilmu pendidikan adalah ilmu yang membahas
berbagai masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Pedagogi selain
bercorak teoritis juga bersifat praktis. Untuk yang bersifat teoritis diuraikanlah
hal-hal yang bersifat normatif, yakni menunjukkan kepada standar nilai tertentu.
Sementara yang bersifat praktis menunjukkan bagaimana pendidikan itu harus
dilaksanakan (Bernadib,1997:7).
Ketika landasan
folosofis dari pandangan postmodernisme diaplikasikan ke dalam pendagogi, ada
banyak implikasi atau pengaruh praktis yang dapat dihasilkan. Secara ringkas,
sebagian dari pengaruh tersebut dapat dilihat dalam poin-poin berikut:
1.
Peserta
didik harus dibantu untuk melihat bagaimana berbagai ide dan institusi yang ada
sebenarnya telah disesuaikan dengan berbagai nilai dan kepentingan manusia.
Misalnya,sebuah buku mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan dan latar belakang
pengarangnya, atau bagaimana acara TV mempromosikan gaya hidup yang
menguntungkan perusahaan komersial, atau bagaimana kurikulum pendidikan
merefleksikan nilai-nilai dari berbagai sektor masyarakat.
2.
Pendidikan
harus dipahami sebagai sebuah wadah sosialisasi bagi peserta didik sekaligus
sebagai wadah untuk penanaman perasaan kewarganegaraan. Pendidikan harus
mengarah kepada apa yang dianggap benar oleh masyarakat di mana peserta didik
hidup agar mereka dapat berperan sebagai warga dalam masyarakat tersebut.
Peserta didik harus dibantu untukmenemukan pijakan dasar bagi kehidupannya.
3.
Pendidik
harus mau dan mampu untuk bekerjasama dengan peserta didik (dan orang tua)
dalam suatu cara dialogis untuk mengidentifikasi pelbagai pandangan yang
merupakan suatu kombinasi yang tepat dari elemen-elemen lama dan baru.
4.
Lembaga
pendidikan harus mendorong dan membantu peserta didik untuk terlibat dalam penerimaan
umum mengenai realitas dan kehidupan. Postmodernis menekankan bahwa perhatian-perhatian
konkrit, lokal adalah penting dan harus diaplikasikan dalam pendidikan. Sementara
studi-studi di lembaga pendidikan seringkali terlalu abstrak dan kurang
relevan. Pembelajaran seharusnya mengkombnasikan yang konkrit dan yang umum.
5.
Salah satu
hal yang juga penting dalam pendidikan adalah takanan pada sifat demokratis dan
dialogis. Pendidikan harus semakin maju, berkaitan dengan pendidik dan peserta
yang belajar bersama tidak dengan gaya top-down. Dalam beberapa mata
pelajaran, seperti dalam sains dan matematika, seorang pendidik mungkin lebih
banyak tahu daripada peserta didik dikelas, berbeda dengan masalah seperti
nilai-nilai dan kehidupan keluarga.
6.
Pendidik
harus membantu peserta didik untuk belajar bagaimana caranya belajar, seperti dalam
mempergunakan teknologi tertentu. Satu keuntungan dari cara ini adalah peserta
didik secara lebih aktif terlibat dalam menentukan apa yang mereka pelajari dan
mengapa harus dipelajari? serta mampu untuk memberikan ekspresi bagi
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan khususnya.
7.
Penting juga
untuk dicatat bahwa tidaklah memadai hanya memberikan peserta didik kemampuan-kemampuan
pembelajaran dan kemudian melepaskan mereka karena sebagian besar anak
membutuhkan dorongan dan bantuan yang terus menerus untuk mempelajari apa yang
mereka butuhkan bagi kehidupan dunia saat ini.
8.
Untuk
membuat pendidikan menjadi demokratis bukanlah dengan jalan membongkar semua struktur
dan harapan yang ada, namun lebih baik mencoba untuk mengkreasi berbagai struktur
yang memberikan dukungan kepada didik dan mengizinkan mereka untukmemberikan
masukan yang signifikan dan memiliki kontrol yang optimal atas pembelajaran mereka.
Pentingnya sebuah pendekatan demokratis tidak dalam artian bahwa struktur dan
isi tidak dibutuhkan, namun bahwa peserta didik (dan pendidik) harus mempunyai
suatu kata tentang bagaimana pembelajaran mereka distrukturkan dan apa isi yang
dibuat bagi mereka.
Dari beberapa
poin di atas tampak jelas bahwa pandangan posmodernisme dapat berpengaruh
praktis terhadap pedagogi. Misalnya, menjelaskan bahwa para peserta didik harus
dibantu untuk melihat bagaimana pelbagai ide dan institusi yang ada sebenarnya
telah disesuaikan dengan berbagai nilai dan kepentingan manusia. Hal ini
membuktikan bahwa adanya implikasi narlangsung dari pandangan para posmodernis
bahwa manusia membentuk realitas sesuai dengan kebutuhan, kepentingan,
prasangka dan tradisi budaya yang dimilikinya.
Salah satu makna
pendidikan adalah serangkaian tindakan yang disengaja. Karenanya,dalam
pendidikan perlu diketahui tujuan yang ingin dicapai (Bernadib,2002:5). Dan
akan terasa aneh bahkan sia-sia ketika pendidikan dan semua aspeknya
diselenggarakan tanpa tujuan atau adanya sesuatu dibalik penyelenggaraannya.
D.
Beberapa Implikasi bagi Filsafat Pendidikan
Ada banyak implikasi dari apa yang kita
telah bahas mengenai filsafat pendidikan, tetapi sekali lagi saya harus
selektif. Untuk memulai dari, siswa pendidikan, seperti siswa sekolah, harus
dibantu untuk melihat bahwa pengetahuan tergantung nilai, tergantung budaya,
dan perubahanya bahwa kita tidak mencari sesuatu yang tetap yaitu filsafat umum
kehidupan dan pendidikan. Pada saat yang sama, bagaimanapun, mereka harus
dibantu untuk mengidentifikasi keberlanjutan dan kesamaan yang memberikan
stabilitas dan arah untuk hidup mereka dan praktek mengajar. Selain berpengaruh praktis bagi pedagogi, pandangan para postmodernis
juga memiliki pengaruh praktis bagi filsafat pendidikan seperti tertera pada
beberapa poin berikut:
1.
Peserta
didik harus dibantu untuk melihat bahwa pengetahuan terkait dengan nilai,
terkait dengan budaya dan dapat berubah. Pada saat yang sama, mereka harus
dibantu untuk mengidentifikasi komunitas dan komunalitas yang memberikan
stabilitas dan arah hidup mereka. Dan salah satu cara untuk mencapai tujuan di
atas adalah dengan mempelajari beragam bentuk ilmu pengetahuan, seperti
antirasis, feminis, individual dan sebagainya. Dengan cara ini peserta didik
akan melihat bahwa teori perlu disesuaikan dengan berbagai kebutuhan kelompok
dan individu yang beragam. Sesungguhnya, eksplorasi terhadap adanya berbagai
kategori yang berbeda dari manusia merupakan bagian penting dari studi-studi
pendidikan.
2.
Ruang kelas
filsafat pendidikan, seperti ruang kelas sekolah, seharusnya juga
bersifatdemokratis dan dialogis. berbagai energi dari peserta didik akan
dilibatkan. Satu hal yang sering agak mengejutkan adalah bagaimana ketika para
pendidik yang mendukung demokrasi bagi pendidikan namun kemudian tidak
mempraktikkannya. Padahal bila seorang pendidik percaya kepada sebuah
pendekatan demokratis maka ia seharusnya melakukannya agar peserta didiknya
memahami apa yang ia maksudkan dan mereka diberikan kesempatan untuk
mengembangkan suatu pedagogi demokratis yang pada
gilirannya dapat mereka lakukan di sekolah.
3.
Untuk
mengadopsi suatu pendekatan yang demokratis dan dialogis maka diperlukan suatu
pemikiran ulang yang fundamental atas kodrat filsafat dan kerja intelektual
secara umum. Para pendidik seharusnya tidak memandang penelitiannya sebagai
sesuatu yang dapat diadakan secara terpisah dalam pikiran atau dalam studi, dan
kemudian mempergunakannya sebagai kunci untuk membuka rahasia-rahasia
pendidikan dan kehidupan.
4.
Tugas
sebagai pendidik bukan untuk membuat peserta didik dengan pengetahuannya tentang
sejarah filsafat dan berbagai jargon teknisnya, namun untuk membantu peserta
melihat bahwa mereka bergulat dengan isu-isu yang sama seperti yang dihadapi
pendidik dan untuk membuat peserta didik mampu untuk memasuki percakapan dengan
para filsuf, kuno dan modern, dan para teorisi lainnya.
5.
Pendidik
harus berbicara mengenai teori dan praktik karena hal itu merupakan cara yang
paling efektif untuk memberikan kontribusi bagi pendidikan, yang merupakan
tanggung jawabnya. Orang-orang yang mengkhususkan dirinya kepada teori atau
kepada praktik dapat memberikan kontribusi, namun secara normal mereka akan
memberikan kontribusi yang lebih besar jika mereka melakukan keduanya
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Pandangan postmodernisme yang dibahas di atas (realitas, perubahan dan
perbedaan, metafisika, diri, penelitian, dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan)
punya implikasi atau pengaruh praktis yang menjanjikan bila nantinya dapat
diterapkan dalam pendidikan. Dari beberapa poin di atas kelihatan jelas bahwa
pandangan postmodernisme dapat berpengaruh praktis terhadap pedagogi. Peserta
didik harus dibantu untuk melihat bagaimana berbagai ide dan institusi yang ada
sebenarnya telah disesuaikan dengan berbagai nilai dan kepentingan manusia.
Poin ini merupakan implikasi langsung dari pandangan postmodernis bahwa
manusia membentuk realitas sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, prasangka dan
tradisi budaya yang dimilikinya. Hal ini semakin terasa benar ketika melihat
makna pendidikan secara luas. Salah satu makna pendidikan adalah serangkaian
tindakan yang disengaja. Karenanya, dalam pendidikan perlu diketahui tujuan
yang ingin dicapai.
B. Saran
Dalam
Postmodernisme berpandangan bahwa tugas mencerdaskan manusia dalam pendidikan
bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah saja namun juga melibatkan
peran masyarakat luas dalam pendidikan. Sehingga adanya kurikulum 2013 merupakan
bentuk nyata kehadiran postmodernisme, meskipun dalam pelaksanaannya masih
terkesan membingungkan dan masih dengan pro dan kontra hal ini semata-mata
disebabkan karena kurangnya kesiapan dari setiap unsur yang terlibat. Sehingga
agar pendidikan berjalan sesuai dengan harapan menjadikan siswa yang
berkarakter diharapkan peran serta keluarga, sekolah dan masyarakat mampu
mengiring pendidikan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Aronowitz and Giroux’s Postmodern Education and
William Doll’s, A Post-Modern Perspective
on Curriculum (New York: Teachers College Press, 1993).
Barnadib, Imam . 1997. Filsafat
Pendidikan: Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset.
Carol Nicholson, “Postmodernism, Feminism, and Education: The Need for Solidarity,” Educational Theory 40, no. 1 (1990): 43.
Chris Weedon, Feminist
Practice and Poststructuralist Theory (Oxford: Blackwell, 1987).
E.T. Gendlin, “Thinking
Beyond Patterns: Body, Language, and Situations,” in The Presence of
Feeling in Thoughts, ed. B. denOuden and M. Moen (New York: Peter Lang, 1991),
29.
John McGowan, Postmodernism
and Its Critics (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 184.
Landon E. Beyer and Daniel P. Liston, “Discourse or Moral Action? A Critique of
Postmodernism,” Educational Theory 42, no. 4 (1992): 383-87.
Linda Hutcheon, The
Politics of Postmodernism (London: Routledge, 1989), 1.
Michel Foucault, The
History of Sexuality (New York: Random House/Vintage, 1990/1976), 11-13.
Richard Rorty, “The
Dangers of Over-Philosophication — Reply to Arcilla and Nicholson,”
Educational Theory 40, no. 1 (1990): 43.
Stanley Aronowitz and Henry Giroux, Postmodern Education (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1991), 19, 59.
The Great Code (New York: Harcourt Brace Jovanovich,
1983), 52, 61-62, 217-1and Words with
Power (Penguin, 1990), 37-40
Comments
Post a Comment