Sejarah Penciptaan Lambang "Garuda Pancasila"

Sultan Hamid II, Perancang Lambang Negara


Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? 
Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. 
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.  Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. 
Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.  Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.  Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. 
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.  Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. 
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.  Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". 
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. 
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
 AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.
 Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. 
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. 
Tanggal 20 Maret 1940, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. 
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.


Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Republik Indonesia. Lagu ini pertama kali diperkenalkan oleh komponisnya, Wage Rudolf Soepratman, pada tanggal 28 Oktober 1928 pada saat Kongres Pemuda II di Batavia. Lagu ini menandakan kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia yang mendukung ide satu “Indonesia” sebagai penerus Hindia Belanda, daripada dipecah menjadi beberapa koloni. Stanza pertama dari Indonesia Raya dipilih sebagai lagu kebangsaan ketika Indonesia mem[p]roklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dan penggunaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1958.
Indonesia Raya dimainkan pada upacara bendera. Bendera Indonesia dinaikkan dengan khidmat dan gerakan yang diatur sedemikian supaya bendera mencapai puncak tiang bendera ketika lagu berakhir. Upacara bendera utama diadakan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Upacara ini dipimpin oleh Presiden Indonesia.
Ketika mempublikasikan Indonesia Raya tahun 1928, Wage Rudolf Soepratman dengan jelas menuliskan “lagu kebangsaan” di bawah judul Indonesia Raya. Teks lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali oleh suratkabar Sin Po. Setelah dikumandangkan tahun 1928 dihadapan para peserta Kongres Pemuda II dengan biola, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka menyanyikan lagu itu dengan mengucapkan “Mulia, Mulia!” (bukan “Merdeka, Merdeka!”) pada refrein. Akan tetapi, tetap saja mereka menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan. Selanjutnya lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik. Setelah Indonesia merdeka, lagu itu ditetapkan sebagai lagu Kebangsaan perlambang persatuan bangsa.
Namun pada saat menjelaskan hasil Festival Film Indonesia (FFI) 2006 yang kontroversial dan pada kompas tahun 1990-an, Remy Sylado, seorang budayawan dan seniman senior Indonesia mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya merupakan jiplakan dari sebuah lagu yang diciptakan tahun 1600-an berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda. Kaye A. Solapung, seorang pengamat musik, menanggap tulisan Remy dalam Kompas tanggal 22 Desember 1991. Ia mengatakan bahwa Remy hanya sekadar mengulang tuduhan Amir Pasaribu pada tahun 1950-an. Ia juga mengatakan dengan mengutip Amir Pasaribu bahwa dalam literatur musik, ada lagu Lekka Lekka Pinda Pinda di Belanda, begitu pula Boola-Boola di Amerika Serikat. Solapung kemudian membedah lagu-lagu itu. Menurutnya, lagu Boola-boola dan Lekka Lekka tidak sama persis dengan Indonesia Raya, dengan hanya delapan ketuk yang sama. Begitu juga dengan penggunaan Chord yang jelas berbeda. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa Indonesia Raya tidak menjiplak.

Naskah pada koran Sin Po (1928)

Lagu Indonesia Raya diciptakan oleh WR Supratman dan dikumandangkan pertama kali di muka umum pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta (pada usia 25 tahun), dan disebarluaskan oleh koran Sin Po pada edisi bulan November 1928. Naskah tersebut ditulis oleh WR Supratman dengan Tangga Nada C (natural) dan dengan catatan Djangan Terlaloe Tjepat, sedangkan pada sumber lain telah ditulis oleh WR Supratman pada Tangga Nada G (sesuai kemampuan umum orang menyanyi pada rentang a – e) dan dengan irama Marcia, Jos Cleber (1950) menuliskan dengan iramaMaestoso con bravura (kecepatan metronome 104).

Aransemen simfoni Jos Cleber (1950)

Secara musikal, lagu ini telah dimuliakan — justru — oleh orang Belanda (atau Belgia) bernama Jos Cleber (pada waktu itu ia berusia 34 tahun) yang tutup usia tahun 1999 pada usia 83 tahun. Setelah menerima permintaan Kepala Studio RRI Jakarta Jusuf Ronodipuro pada tahun 1950, Jos Cleber pun menyusun aransemen baru, yang penyempurnaannya ia lakukan setelah juga menerima masukan dari Presiden Soekarno.

Rekaman asli (1950) dan rekam ulang (1997)

Rekaman asli dari Jos Cleber tahun 1950 dari Orkes Cosmopolitan Jakarta, telah dimainkan dan direkam kembali secara digital di Australia tahun 1997 berdasarkan partitur Jos Cleber yang tersimpan di RRI Jakarta, oleh Victoria Philharmonic di bawah pengarahan Addie MS.

















Lirik asli, ejaan 1958, dan EYD

 

 

Lirik asli (1928)

INDONESIA RAJA
I
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
“Indonesia Bersatoe”.
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg’rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea,
Marilah kita mendoa:
“Indonesia Bahagia”.
Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoeanya,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
“Indonesia Bersatoe”
S’lamatlah rajatnja,
S’lamatlah poet’ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg’rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.

Lirik resmi (1958)

INDONESIA RAJA
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Disanalah aku berdiri,
Djadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rajatku, sem’wanja,
Bangunlah djiwanja,
Bangunlah badannja,
Untuk Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang mulia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanja,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnja,
Suburlah djiwanja,
Bangsanja, Rajatnja, sem’wanja,
Sadarlah hatinja,
Sadarlah budinja,
Untuk Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang sutji,
Tanah kita jang sakti,
Disanalah aku berdiri,
Ndjaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang aku sajangi,
Marilah kita berdjandji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakjatnja,
S’lamatlah putranja,
Pulaunja, lautnja, sem’wanja,
Madjulah Neg’rinja,
Madjulah pandunja,
Untuk Indonesia Raja.
Refrain
Indonesia Raja,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku jang kutjinta!
Indonesia Raja,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raja.


Lirik modern

INDONESIA RAYA
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.






Sejarah Bendera Indonesia Merah Putih


Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai dan kepribadian tersendiri, sesuai dengan riwayat sejarah bangsa itu masing-masing. Demikian halnya dengan Sang Merah Putih bagi bangsa Indonesia, warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dan dibuat secara tiba-tiba, melainkan melalui proses sejarah yang sama lamanya dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia.
1. Menurut sejarah, bangsa Indonesia memesuki wilayah Nusantara ini ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia mempunyai cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra, Aditya berarti matahari dan candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara namun juga di seluruh kepulauan Austronesia, di samudera Hindia dan Pasifik. Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan berbaurlah dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan keturunan yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia. 
Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu Getah-Getih. Getah-Getih yang menjjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan Getih (bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia dan hewan. Demikian menurut kepercayaan yang terdapat di kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara. Dari kepercayaan ini maka warna merah dan putih menjadi warna keagungan, warna pujaan.
2. Pada permulaan tahun Masehi selama dua abad lamanya rakyat di kepulauan Nusantara ini mempunyai kepandaian membuat ukir-ukiran atau pahatan dari kayu, batu dan lain sebagainya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan genderang besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di pulau bali genderang ini disekut nekara bulan pajeng yang dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung.

Demikian juga di gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga (peti mati dari batu) dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki gunung Dompu. Kedua bendera tersebut diperkirakan usianya lebuh tua dari zaman perunggu. Pada petilasan waruga di dalamnya terdapat manik-manik dari tanah berwarna merah dan putih. Pada petilasan tugu di Jawa Barat dari raja Purnawarman yang bertahta di kerajaan Tarumanegara yang waktu itu berkembang agama hindu, terdapat sebuah lukisan yang menceritakan kebesaran raja dengan kalimat-kalimat yang menyebutkan “dwaja” untuk pertama kali dikenal di Nusantara. Adapun arti “dwaja” yang berasal dari bahasa sansekerta ialah tanda, lambang, bendera atau pataka seperti juga halnya umbul-umbul, tunggul dan lain sebagainya yang terdapat di kaki candi Borobudur.
3. Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan, di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII. Salah satu peninggalannya ialah candi Borobudur, dibangun pada tahun 824 M dan pada salah satu dindingnya terdapat tulisan Pataka di atas lukisan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim dipergunakan dalam kitab Jawa kuno atau kitab Ramayana.
Gambar pataka atau bendera yang terdapat di candi Borobudur, oleh seorang pelukis Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman (kera berbulu putih) terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api). Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah putih. Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu burung Garuda yang juga dikenal sebagai burung merah putih. Demikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya dengan gelar Garuda Muka. Maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.
4. Kerajaan Singasari yang berdiri setelah kerajaan Kediri dari tahun 1222 sampai 1292, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan kerajaan Singasari di bawah tampuk Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah putih, tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singasari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji-panji berwarna merah putih dengan gamelan kea rah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan pasukan Singasari, padahal pasukan Singasari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian itu tertulis dalam suatu piagam yang dikenal dengan nama Piagam Butak.
Butak adalah nama Gunung tempat ditemukannya piagam tersebut, terletak di sebelah selatan kota Majakerta. Pasukan singasari dipimpin oleh R.Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R.Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di desa Tarik, 12 km sebelah timur kota Majakerta.
Berkibarlah warna merah putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian juga dikenal sebagai Piagam Merah Putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang runtuhnya Singasari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dan Budhisme.
5. Demikian perkembangan selanjutnya pada masa jayanya Majapahit, menunjukkan bahwa putrid Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mengandung unsur warna merah dan putih, (jingga = merah, perak = putih). Tempat Raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya disebut juga keraton merah putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata warna merah dan lainnya diplester warna putih. 
Mpu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah putih pada upacara kebesaran raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar-pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi warna merah putih, seperti yang dikendarai oleh putri Raja Lasem. Kereta putrid Daha digambari buah Maja warna merah, atas dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan.
Salah satu peninggalan Majapahit ialah sebuah cincin merah putih yang menurut ceritanya sebagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram. Sebagai kelanjutan, dalam keraton Solo terdapat panji-panji peniggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu raja Majapahit terakhir. Panji-panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan Arab Jawa yang digaris atasnya memakai warna merah. Hasil penyelidikan panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa, dilihat dari warna merah dan putih. Gula, warna merah, artinya berani, dan kelapa, warna putih, artinya suci.
6. Di Sumatera Barat menurut sebuah Tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan menggunakan tiga warna. Yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat. Kuning mewakili golongan alim ulama’. Sedangkan merah mewakili golongan hulubalang. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan zaman kerajaan minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Waromporang yang berwarna putih yang disertai umbul-umbul berwarna merah di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak saja berkibar di daratan, tetapi juga di samudera, di atas tiang armada Bugis yang terkenal.
Bagi masyarakat Batak terdapat kebiasaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang batak menganggap ulos sebagai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti yang khusus bagi yang menggunakannya.
Dalam aliran animisme Batak dikenal kepercayaan monoteisme yang bersifat primitif, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu Benua Atas (benua ginjang) yang dilambangkan warna merah danputih, Benua Bawah (benua toru) yang dilambangkan warna hitam. Ketiga warna itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat tiga warna dasar yang tiga tadi yaitu warna hitam sebagai warna dasar sedangkan warna merah dan putih sebagai hiasan atau motifnya. Di beberapa daerah Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama, yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang tersebut ditentukan pemakaiannya pada setiap upacara-upacara, dan sebagian besar dari motif-motifnya memakai warna merah dan putih.
7. Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830, di tengah-tengah pasukan Diponegoro yang beribu-ribu juga terdapat kibaran bendera merah putih, demikian juga di lereng-lereng gunung dan desa-desa yang dikuasai pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah putih.
Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda, perjuangan rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra-putra Indonesia yang dipimpin oleh Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja. Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi para putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan terpadamkan. Hambatan dan rintangan silih berganti, tiada suatu kekuatan pun yang dapat menghambat berkibarnya bendera bangsa Indonesia di bumi Nusantara ini.
Pada abad XX perjuangan rakyat Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada tahun 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah. Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa di bawah pimpinan Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Perguruan Taman Siswa pada waktu itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : “dari barat sampai ke timur, pulau-pulau Indonesia, nama kamu sangatlah masyhur dilingkungi merah putih”. Itulah makna bendera yang dikibarkan perguruan Taman Siswa. Ketika terjadi perang aceh, pejuang-pejuang aceh telah menggunakan bendera perang umbul-umbul dengan warna merah putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari dan bintang serta beberapa ayat suci Alqur-an.
Para mahasiswa yang teegabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berkedudukan di Negara Belanda pada tahun 1922 juga telah mengibarkan bendera merah putih yang ditengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia merdeka.
Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia di bawah pimpinan Ir.Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang ditengahnya bergambar banteng.
Kongres pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada saat itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut tidak lain adalah tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :

Pertama :

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA

Kedua :

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.

Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan, dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia raya.
Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah putih telah berkobar di dada peserta, hal ini dibuktikan dengan panitia kongres menggunakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang di pasang di dada kiri. Demikian juga pada dada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah putih.
Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk tokohnya Van Der Plass sangat ketat memperhatikan segala gerak-gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang diciptakan para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkanya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.
Pada masa kedudukan jepang di Indonesia, pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dilarang, karena penjajah mengetahui pasti hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan untuk merdeka. Barulah pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih diizinkan berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada tahun itu juga dibentuk panitia yang bertugas untuk menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah putih.
Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi dikibarkanlah untuk pertama kalinya bendera merah putih yang tidak saja sebagai bendera kebangsaan, tetapi juga sebagai bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian disasahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam UUD 1945 pasal 35 dalam siding Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang pertama. Bendera yang berkibar pertama kali di Pegangsaan Timur 56, kemudian kita kenal dengan nama Sang Saka Merah Putih ditetapkan sebagai bendera pusaka.

Pada tanggal 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Badan Dunia.

Sang Merah Putih oleh bangsa Indonesia dijadikan bendera kebangsaan dan bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warna merah putih telah ribuan tahun menjadi warna pujaan yang sangat dimuliakan, sesuai dengan kepercayaan yang dianut pada waktu itu dan telah mendarah daging.

Bendera Indonesia ada persamaannya dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah negara kecil di bagian selatan Prancis, namun masih terdapat perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako ditengahnya berlambang kerajaan dengan ukuran perbandingan 2,5:3. Sedangkan bendera Indonesia telah ditetapkan dalam PP No. 40 tahun 1958, berukuran yang terbesar dengan perbandingan 2:3 (lebar 2 meter dan panjang 3 meter). Kerajaan Monako menggunakan bendera bukanlah sebagai lambang tertinggi, sebab sebuah negara kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera Merah Putih mrupakan lambang tertinggi. Kemudian Kerajaan Monako bukan anggota PBB. Ada lagi negara yang menggunakan bendera merah dan putih yaitu Polandia, tetapi letak warnanya berbeda. Bendera Polandia adalah Putih Merah.

Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia ini mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya?. Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh.
Berdasarkan penelitian terhadap fosil-fosil benda kuno ada petunjuk bahwa bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat sebagai daftar. Demikian juga pada bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum Masehi.
Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan banyaknya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil.
Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah simbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah takluknya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak tongkat atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungannya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa sampai sekarang ini.
Pada abad XIX tentara Napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadira raja, opsir atau pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang di puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga dengan perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.
Ada lagi yang dinamakan labarum, ialah kain sutera bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera gunfano yang dipakai bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak dan dari sinilah lahir bendera Perancis yang bernama “Fonfano”.
Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga dan burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalahdalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung Garuda, bangsa Cina menggunakan bendera yang bersulam gambar ular naga. Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai, rupanya pada saat itu sudah dikenal. Dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa negara di dunia ini.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah: Pembelajaran IPS di China

Makalah : Manusia dan Kebudayaan

Makalah : INTELEGENSI